Perspektif Perbedaan Budaya lewat Foto Makanan
23 Maret 2012 | Views (387)
Oleh Idhar Resmadi
Bandung - Fotografer Oxalis Atindriyarati dan Maarten Wesselius bertemu di musim panas 2009 saat duduk di bangku kuliah di Leiden. Pertemuan mereka disatukan pada kegemaran yang sama terhadap makanan. Terinspirasi oleh sebuah blog yang ditemukan Oxalis, mereka kemudian memulai foto blog yang kemudian mereka beri nama, ‘Supper Snapshots’. Proyek memotret makanan ini telah menghasilkan 1.468 buah foto.
Bandung - Fotografer Oxalis Atindriyarati dan Maarten Wesselius bertemu di musim panas 2009 saat duduk di bangku kuliah di Leiden. Pertemuan mereka disatukan pada kegemaran yang sama terhadap makanan. Terinspirasi oleh sebuah blog yang ditemukan Oxalis, mereka kemudian memulai foto blog yang kemudian mereka beri nama, ‘Supper Snapshots’. Proyek memotret makanan ini telah menghasilkan 1.468 buah foto.
Sekitar empat puluh karya foto makanan itu mereka pamerkan di Common Room, Jalan Kyai Gede Utama No 8, Bandung yang berlangsung dari 17 Maret- 31 Maret 2012. Paling menariknya, pameran Supper Snapshots: Capturing 2 Cuisines tak hanya mengajak pada keintiman dan relasi yang dekat dengan Oxalis dan Maarten, akan tetapi bagaimana melihat juga perspektif dua budaya yang berbeda dari makanan yang mereka santap.
Sejumlah foto yang dipamerkan tak hanya menampilkan makanan alakadarnya. Kuatnya komposisi dan pencahayaan membuat foto-foto ini memang bukan menampilkan makanan dengan tampilan meggiurkan seperti yang biasa kita lihat di katalog restoran. Makanan-makanan yang dijepret oleh Oxalis dan Maarten memang tidak berkehendak untuk membuat air liur kita menetes, akan tetapi kuatnya visual dalam foto itu seolah ingin menampilkan kecenderungan estetika dari suatu foto makanan.
Pada foto seri berjudul “Koffie- Teh” yang hanya menampilkan foto dari bubuk kopi, bungkus kopi dan teh, serta pot untuk menyeduh teh, menceritakan bagaimana relasi dua budaya yang berbeda sama sekali bekerja. Maarten yang notabene orang Belanda banyak meminum kopi karena kafein menyediakan energi untuk melalui hari kerja. Sementara Oxalis yang mengganggap teh lebih banyak dia pilih, karena orang Indonesia biasanya lebih memilih minum teh yang mungkin lebih cocok dengan gaya hidup mereka yang santai.
Perspektif perbedaan budaya itu juga terlihat, misalnya, dari seri foto berjudul “Feest/Perayaan” yang menggambarkan tradisi makanan pada hari raya Idul Fitri dan Natal. Melihat foto belahan ketupat dan nasi kuning, saya menduga Oxalis (yang mungkin beragama muslim), menampilkan tradisi yang lumrah dalam setiap perayaan hari besar. Kemudian Maarten menampilkan foto roti dan kue yang merupakan cemilan istimewa pada hari Natal. Pada waktu Natal, keluarga Belanda cenderung berkumpul bersama untuk makan besar sepanjang malam, disertai cemilan ekstra.
Perbedaan budaya tradisi juga diperlihatkan dalam foto berjudul “Anderen/ lain-lain” yang menampilkan sejumlah foto cemilan khas Indonesia dan Belanda. Pada cemilan khas Belanda, mayoritas menampilkan gambar roti dan kue. Yang lebih berbeda adalah jepretan Oxalis yang memotret cemilan-cemilan khas Indonesia yang lebih beragam seperti martabak, abon, tepung ikan, dan lain-lain.
Meski secara budaya antara Indonesia dengan Belanda berbeda soal makanan. Namun, orang Belanda maupun orang Indonesia suka cemilan manis. Itu terlihat dari foto seri berjudul “Snoepjes/Camilan” yang menampilkan permen dan kue yang manis. Namun, juga masih terlihat perbedaan jensis dan karakter antara dua cemilan manis itu. Foto-foto yang disajikan pun cenderung menampikan tampilan dari permen tersebut.
Banyak sekali jenis makanan yang memperlihatkan kebudayaan antara Indonesia dan belanda seperti pada seri “Paprika-Sawi”, “Groenten/Sayuran” dan “Vegetables”. Oxalis dan Maarten tak hanya memperlihatkan perbedaan itu secara visual, namun juga intim dan seolah-olah kita diajak masuk ke dalam dunia tamasya atau wisata kuliner dari Oxalis dan Maarten.
“Karena kami memang kebetulan suka masak bareng. Proyek foto makanan ini sengaja kami pilih, biar konsepnya sesuai dengan kesukaan kami, terutama makanan. Awalnya sih cuma sekedar dokumentasi, kayak ngasih tahu orang rumah makanan apa yang kami santap. Namun kemudian malah berkembang dari foto itu menjadi semacam eksperimen dengan imajinasi kami,” papar Oxalis yang juga bekerja di ANTARA ini.
Dalam pengantar yang ditulis oleh seniman Gustaff H. Iskandar bahwa pameran ini merupakan ruang perjumpaan antar dua budaya dari kebiasaan yang saling berbeda. Keduanya pada saat yang bersamaan saling memperkaya dan melengkapi, sekaligus mengantarkan kita pada dunia makna dan makanan yang tak berujung batas.